Bulan tujuh beberapa tahun silam, kita pernah bertukar memory card.
Aku memutar balik ingatanku, disana kudapati banyak judul lagu yang bertengger di playlistmu.
Diantara mereka ada salah satu yang menarik perhatianku.
Kupu-kupu baja, kamu melabelinya tanpa nama si pemilik suara.
Ibu jariku menekan tombol play.
Spontan telingaku bersiap menangkap apapun dari speaker putih milikku.
Alunan dan cengkoknya terlalu menggebu.
Sementara aku lebih menyukai genre yang lemah lembut.
Jadi, kusudahi sampai pada reff pertama.
**
Hari ini kita kembali berujar dalam temu.
Bukan lagi bertukar memory card seperti kala itu, melainkan memutar habis playlist di benda mungil milikmu, tentunya telepon pintar yang tak seklasik dulu.
“Ku bukan makhluk lemah yang harus dimanjakan, makhluk lemah ini telah bermetamorfosa jadi kupu-kupu baja.”
Bait liriknya mengantarkan aku pada ingatan hari itu.
Sebuah lagu yang belum selesai aku dengarkan.
Bahwa saat berdiri di titik lemahmu, kamu memutarnya lagi untuk menemukan puing-puing kekuatan. Isyarat itu yang berisik di kepalaku.
**
Kemudian aku lontarkan tanya ini padamu.
“Kamu tau filosofi kupu-kupu baja?”
“Enggak, Kuw.” Jawabmu singkat.
Aku mengambil secarik kertas, diatasnya kutarik simpul dengan menggerakkan pensil, lalu kupenuhi beranda putih itu dengan rekaan siklus hidup kupu-kupu.
Ku bubuhi juga coretan menyerupai panah yang saling menunjuk.
Sinyal bahwa ujung pangkalnya menandakan siapa yang lebih dulu menjalani peran.
**
“Dia berdiam diri, merasa cukup dengan apa yang ada dihidupnya saat ini. Seolah apatis dengan menampik kebaikan-kebaikan yang menanti di luar sana. Enggan untuk beranjak lagi. Padahal Allah telah mengingatkan kita untuk terus bergerak. Iya, kan?”
“Maka apabila kamu telah selesai dari suatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Kata Allah di dalam Q.S Al-Insyirah : 7.”
Kamu mengangguk pelan, senada dengan jari telunjukku yang mengarah pada bentuk bulat tak simetris itu.
**
“Dia lupa bahwa waktu tak statis diam di peradabannya. Arah jarum jam pun tak sedetikpun membiarkan perubahan terjadi tanpa perpindahannya. Ya, waktu akan terus berjalan seiring kehidupan yang bergerak maju. Terlepas atas kemauannnya atau karena terpaksa, ia tetap akan tumbuh menjadi ulat.”
Aku mencuri pandang 3 detik menujumu, sebelum kulanjutkan bicaraku.
“Beradaptasi dengan lingkungan baru memanglah tak mudah, ia mungkin kedinginan di bawah rintik hujan berkat awan yang menghitam. Terik mataharipun memantik kehausan ditenggorokannya, mengucurkan air dari pelipisnya. Tekanan-tekanan dari luar acap kali membujuknya untuk menyerah. Tapi hebatnya ia masih terus bertahan.”
**
“Kira-kira kenapa ya?” Tanyaku lagi padamu.
Kamu menoleh ke arah langit-langit kamar, tapi sinar lampu mengernyitkan dahimu.
Karenanya kamu kembali menoleh ke arahku.
“Mungkin saja ia ingat akan peringatan Tuhannya, bahwa pada Q.S Al-Baqarah : 216, Allah berkata: ‘Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu tetapi ia baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu tetapi ia buruk bagimu, dan Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui.’ Atau mungkin saja ia menyadari bahwa tekanan-tekanan dalam hidup bukanlah untuk melemahkannya, melainkan untuk menguatkan pijakannya, sebab selalu ada kebaikan atas segala rasa sakit.” Kataku lagi.
**
Pandanganmu mengikuti tiap gerakan tanganku. Dan ketika aku menunjuk gambar yang kumaksud itu adalah kepompong, kamu terbahak, sebab melihat versi kepompongku yang lebih mirip dengan kacang kulit katamu.
“Ia membalut dirinya dengan benang halus yang tercipta dari air liurnya. Jadilah sekarang benteng pertahanannya yang semakin kokoh. Bahkan bertubi tekanan hampir tak kuasa lagi menggoncangnya.”
“Kali ini ia benar-benar yakin akan hidupnya yang berpotensi membaik saat ia mengharapkan perubahan dari usahanya yang terbaik. Persis seperti pesan-pesan cinta dari-Nya pada Q.S Ar-Rad : 11.” Lanjutku.
**
Mimikmu melukiskan rasa penasaran yang tertahan. Membuatku tergerak untuk memindahkan jari telunjuk ke arah gambar panah, lalu terduduk tepat diatasnya.
“Ruang geraknya kini terbatas dinding keyakinan terhadap sang Pencipta. Sirkuit yang ada saat ini hanyalah diperuntukkan untuknya sekarang dan untuk dirinya di masa lalu. Terkadang ia berjalan lambat guna menyelaraskan gerakan. Bahwa menstabilkan laju jauh lebih terdengar nyaring daripada tergesa yang malah memberatkan nafasnya. Pada akhirnya ia pun akan melantunkan syukur, sebab siapapun yang lebih dulu sampai di garis finish, ia lah yang akan tetap menjuarai kehidupannya.”
**
“Kupu-kupu dengan pribadi yang baru kini telah lahir. Sendi-sendi sayapnya telah siap menerjang riuhnya angin serta gemercik rintik yang menyapa bumi. Kupu-kupu baja, yang tak hanya elok, namun juga memiliki hati sekuat baja.” Aku mengakhiri bagianku yang diikuti dengan intonasiku yang merendah.
Tawamu pecah mendengar kicauan tak berdasar ini. Tapi anehnya kamu mengiyakannya.
“Eh, Kuw. Aku ingin jadi kuat sepertinya, menjadi kupu-kupu baja.” Pungkasmu.